BATIK HOKOKAI 1942-1945 only

source : http://loemboengbatik.multiply.com/journal/item/81

BATIK HOKOKAI (BATIK JAWA HOKOKAI) 1942-1945

Setelah sekian waktu memikirkan tentang berbagai topik paling menarik tentang batik untuk dibahas di tahun 2009 ini, akhirnya kami memutuskan mengangkat sebuah cerita kuno yang membuat banyak pecinta batik penasaran akan kisah perjalanan batik satu ini di Indonesia.

Kali ini pihak management kami mengutip sebuah info dari “Batik Indonesia” tentang Cerita Batik Jawa Hokokai.

Setelah sekian lama mempelajari dan menelusuri tentang apakah batik Jawa Hokokai juga disebut batik Jawa kuno atau tidak, akhirnya kami dapat memberikan sebuah kesimpulan.

Batik Jawa Hokokai yang mulai dibuat pada tahun 1942 selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, tentu saja termasuk batik kuno jika kita pelajari dari tata bahasa. Namun, dalam menggolongkan jenis-jenis batik, maka dibuatlah sebuah perbedaan tentang batik Jawa kuno dan batik Jawa Hokokai.

Batik Jawa kuno ditetapkan sebagai batik dengan motif-motif asli Indonesia (Keraton) yang bukan saja dibuat pada jaman dahulu melainkan merupakan batik yang khusus digunakan oleh kalangan tertentu. Sebut saja salah satu motif batik tertua, kawung. Selain itu ada juga Sidomukti, Limaran, Parang, Gringsing, dan lain-lain.

Bagaimana dengan Batik Jawa Hokokai?

BATIK sangat cepat menyerap unsur-unsur baru yang berada di sekitar masyarakat, terutama batik-batik dari daerah pesisir. Batik Belanda menjadi istilah khusus untuk menggambarkan pengaruh orang-orang Belanda di Jawa. Ada batik dengan motif yang berasal dari cerita Si Runjung Merah (Little Riding Hood), ada motif rangkaian bunga yang diikat pita dan disebut sebagai motif buketan dari asal kata bouquet. Motif burung hong, singa, merak, adalah beberapa yang menunjukkan pengaruh Cina.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942-1945 sebagai bagian dari kampanye penaklukan Asia Timur Raya, pengaruh Jepang juga terasa pada batik-batik di pesisir utara Jawa Tengah. Pada masa itu, dilahirkan batik-batik tulis yang disebut sebagai batik Jawa Hokokai. Nama ini mengikuti nama organisasi propaganda Jepang yang mengindoktrinasi semua yang berusia di atas 14 tahun tentang konsep Asia Timur Raya. Mungkin karena periode pendudukannya yang singkat serta kekejaman Jepang yang luar biasa selama 3,5 tahun masa penjajahan itu, maka sedikit saja informasi yang tersedia tentang batik Jawa Hokokai. Juga belum ada tulisan yang khusus membahas batik dari periode ini.

Batik-batik dari era 1942-1945 yang sering disebut sebagai batik Jawa Hokokai ini dipamerkan di Gedung Arsip Nasional pada tanggal 13 September – 24 September 2000 dari pukul 09.00-16.30, termasuk Minggu. “Pada hari Kamis (21/9) malam ada presentasi batik Jawa Hokokai dari Iwan Tirta di Gedung Arsip, sebaiknya yang berminat memesan tempat lebih dulu karena tempatnya terbatas,” kata Tamalia Alisjahbana, Direktur Eksekutif Yayasan Gedung Arsip Nasional.

wan Tirta dalam bukunya Batik, A Play of Light and Shades, menyebutkan para juragan batik memperkenalkan batik Jawa Hokokai sebagai tanda “penyesuaian” kepada penguasa baru supaya mereka mendapat tempat. Batik Hokokai mengingatkan pada sehelai kanvas, di mana setiap bidangnya diisi dengan rapat oleh ragam hias. Bunga sakura dimasukkan ke dalam batik Hokokai, tetapi secara keseluruhan tidak ada pengaruh khusus desain Jepang. Menurut Iwan, batik Hokokai tampak sebagai evolusi alamiah banyak batik lain di pantai utara Jawa yang dipengaruhi oleh Cina dan Eropa.

Hermen C Veldhuisen dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, secara singkat menyebut batik Hokokai dibuat di bengkel-bengkel milik orang Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Peranakan, yang diharuskan bekerja untuk orang-orang Jepang karena kualitas pekerjaan bengkel mereka yang sangat halus. Sedangkan kain katunnya dipasok oleh orang-orang yang ditunjuk oleh tentara pendudukan Jepang.

Ciri-ciri kain panjang pada masa ini menurut Veldhuisen adalah penuhnya motif bunga pada kain tersebut. Meskipun gaya batik ini disebut sebagai diperkenalkan oleh dan untuk Jepang, tetapi sebetulnya gaya ini sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. Bengkel kerja milik orang Peranakan di Kudus dan Solo pada tahun 1940 sudah menggunakan motif buketan yang berulang, dengan latar belakang yang sangat padat dan disebut sebagai buketan Semarangan. Kain-kain ini dibuat untuk Peranakan kaya di Semarang.

Kain batik pagi-sore, yaitu kain batik yang terbagi dua oleh dua motif yang bertemu di bagian tengah kain secara diagonal, juga bukan merupakan ciri khas batik Hokokai, karena kain pagi-sore ada kain pagi-sore yang dibuat pada tahun 1930 di Pekalongan. Dengan kain pagi-sore, efisiensi pemakaian menjadi salah satu tujuan karena selembar kain bisa dipakai untuk dua kesempatan dengan motif berbeda. Warna yang lebih gelap biasanya dipakai di bagian luar untuk pagi dan siang hari, sementara bagian yang berwarna pastel dipakai pada acara malam hari.

Meskipun begitu, Veldhuisen menyebutkan batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.

Meskipun buku-buku tentang batik umumnya hanya menyebut sekilas saja tentang batik Jawa Hokokai, tetapi Yayasan Gedung Arsip Nasional berhasil menyusun katalog pameran dengan menggunakan informasi dari nara sumber yang masih ada. Mereka adalah kolektor batik atau juragan pembuat batik, seperti Ny Eiko Adnan Kusuma, Ny Nian Djoemena yang menulis beberapa buku tentang kain Indonesia, dan Iwan Tirta yang artisan batik.

Kain-kain batik Jawa Hokokai yang dipamerkan di Gedung Arsip Nasional itu hampir semuanya merupakan batik pagi-sore dengan warna yang cemerlang. Kupu-kupu merupakan salah satu motif hias yang menonjol selain bunga. Meskipun kupu-kupu tidak memiliki arti khusus untuk masyarakat Jepang, tetapi orang Jepang sangat menyukai kupu-kupu. Namun, kupu-kupu dianggap bukan merupakan pengaruh Jepang, melainkan pengaruh dari juragan Cina yang membuat batik di workshop mereka. Untuk orang Cina, terutama yang berada di Indonesia, kupu-kupu merupakan lambang cinta abadi seperti dalam cerita Sampek Engtay.

Motif dominan lainnya adalah bunga. Yang paling sering muncul adalah bunga sakura (cherry) dan krisan, meskipun juga ada motif bunga mawar, lili, atau yang sesekali muncul yaitu anggrek dan teratai.

Motif hias yang sesekali muncul adalah burung, dan selalu burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan. Motif ini dianggap berasal dari Cina dan kemudian masuk ke Jepang.

Hampir semua batik Jawa Hokokai memakai latar belakang (isen-isen) yang sangat detail seperti motif parang dan kawung di bagian tengah dan tepiannya masih diisi lagi dengan misalnya motif bunga padi. Menurut Tamalia, itu menggambarkan suasana saat itu di mana kain sangat terbatas sehingga pembatik memiliki banyak waktu untuk mengerjakan selembar kain dengan ragam hias yang padat. Sebagian batik Hokokai ada yang menggunakan susumoyo yaitu motif yang dimulai dari salah satu pojok dan menyebar ke tepi-tepi kain tetapi tidak bersambung dengan motif serupa dari pojok yang berlawanan.

Meskipun namanya berbau Jepang dan muncul pada masa pendudukan Jepang, tetapi menurut Tamalia batik Hokokai tidak diproduksi untuk keperluan Jepang melainkan untuk orang-orang Indonesia sendiri. Batik-batik itu awalnya dipesan oleh orang dari lembaga Jawa Hokokai untuk orang-orang Indonesia yang dianggap berjasa dalam propaganda Jepang. Kemudian batik seperti ini menjadi mode dan banyak orang Indonesia kaya yang ikut membeli batik dengan ciri tersebut.

Yang masih menimbulkan pertanyaan, meskipun pendudukan Jepang atas Indonesia dikenang sebagai masa penjajahan yang sangat pahit, tetapi mengapa kepahitan itu tidak muncul dalam ragam hias sama sekali. Justru batik Jawa Hokokai memberi kesan umum sebuah kegembiraan dengan warna yang cerah, bunga, kupu-kupu, merak. Di sini, memang masih diperlukan riset lebih jauh mengenai batik ini.

Jawa baru

Setelah Perang Dunia II usai, Jepang takluk dan angkat kaki dari Indonesia, batik sebagai industri mengalami masa surut. Namun, motif-motif batik terus berkembang, mengikuti suasana. Ketika itu juga muncul istilah seperti batik nasional dan batik Jawa baru. Batik Jawa baru bisa disebut sebagai evolusi dari batik Hokokai. Pada tahun 1950-an batik yang dihasilkan masih menunjukkan pengaruh batik Hokokai yaitu dalam pemilihan motif, tetapi isen-isen-nya tidak serapat batik Hokokai.

Artisan batik yang kembali mengangkat kembali motif Hokokai adalah Iwan Tirta. Pada tahun 1980-an Iwan menginterpretasi ulang motif batik Jawa Hokokai dalam bentuk desain yang baru. Ia memperbesar motif bunga seperti krisan dan mawar serta menambahkan serbuk emas 22 karat sebagai cara untuk mempermewah penampilan batik tersebut. Untuk pergelarannya pada akhir tahun ini, Iwan juga membuat motif kupu-kupu dalam ukuran besar.

Batik memang bukan asli seni membuat ragam hias khas Indonesia, tetapi sejarah dan perkembangan batik menunjukkan bahwa batik Indonesia masih yang terbaik.

sumber foto : http://www.batikdesigns.org/javanese/java-hokokai.php

sumber foto : http://www.batikdesigns.org/javanese/java-hokokai.php

BATIK DJAWA HOKOKAI

sumber : Ibu Tumbu Astiani Ramelan dan lainnya

Pada era Pendudukan Jepang 1942-1945 semua material atau bahan dasar untuk membuat Batik sangatlah sulit didapat. Maka berkembanglah Batik yang disebut denga Batik Djawa Hokokai.

Hokokai adalah nama suatu perkumpulan orang-orang Jepang yang berada di Djawa, dibentuk oleh Pemerintahan Jepang untukk mewujudkan  Asia Makmur. Perkumpulan inilah yang semula memesan Batik pada pengrajin Batik dengan ragam hias tertentu yang kemudian dikenal dengan nama Batik Djawa Hokokai. Orang Jepang memesan Batik untuk memberikan kenang-kenangan bagi orang-orang yang dianggap berjasa.

Namun menurut Iwan Tirta dalam bukunya ‘A Play of Light and Shade’ para juragan batiklah yang memperkenalkan ragam hias tersebut untuk mengambil hati Penguasa Jepang.

Batik Djawa Hokokai merupakan Batik Tulis yang mempunyai ragam hias yang kaya dan isen-isen yang rumit serta tata warna yang banyak. Disaat itu kain mori sangatlah langka, maka Batik Djawa Hokokai dibuat kain panjang dengan pola pagi sore atau pada satu kain panjang ada 2 ragam hias yang berbeda, dengan maksud agar dapat digunakan pada dua acara yang berbeda.

Ragam hias yang dipakai dalam Batik Djawa Hokokai ini adalah motif batik tradisional Jawa seperti parang, kawung, sido mukti dll dan sebagai latar menggunakan ragam hias bunga sakura, bunga krisan, bunga dahlia, bunga anggrek dan lainnya baik dalam bentuk buketan ataupun lung-lungan.

Yang menarik dari Batik Djawa Hokokai adalah adanya motif kupu-kupu seperti dalam cerita rakyat Cina Sam Pek Eng Tay yang melambangkan cinta sejati dan burung merak sebagai lambang keanggunan dan keindahan. Dan yang menarik adalah bagaimana mengkomposisikan adegan perlambang kisah cinta ini, adanya dua puncak gunung dimana pada puncaknya terdapat dua burung merak yang kemudian sebagai perlambang cinta abadi Sam Pek dan Eng Tay muncullah kupu-kupu berterbangan dari lembah kedua gunung itu, indah sekali.

Warna pada Batik Djawa Hokokai sangatlah menarik, disesuaikan dengan warna-warna yang digunakan pada kimono Jepang seperti  kuning, biru turqoise, merah, merah muda, lembayung dan warna-warna serah lainnya.

Yang menarik pada Batik Djawa Hokokai adalah adanya  susimoyo atau ragam hias pada kedua pojok menyambung ke  sisi vertikal dan sisi horizontalnya, mirip dengan kimono Jepang.

Batik Djawa Hokokai memang hanya diproduksi dalam waktu yang sangat singkat tahun 1942-1945 oleh karena itu tidaklah terlalu banyak kita temukan kolektor yang masih memiliki Batik ini.

Setelah Jepang meninggalkan Indonesia muncullah Batik Djawa Baroe yang menghasilkan Batik mirip denga Batik Djawa Hokokai dengan ragam hias yang lebih sederhana disesuaikan dengan selera orang Djawa, seperti jelamprang, nitik, tirto tejo dan lainnya bahlan kadang-kadang memakai kepala atau tumpal.

Batik Djawa Hokokai ini kemungkinan besar hanya dikerjakan oleh pembatik di Pekalongan pada saat itu.

Namun saat ini agak sulit meminta pembatik untuk membuat repro dari Batik Djawa Hokokai, ini menunjukan betapa tingginya seni dan teknik pembuatannya sehingga pembatik masa kini tidak sanggup mengerjakannya.

 

sumber foto  : Novi Kusuma, pada Diskusi Batik DJAWA HOKOKAI di Museum Tekstil Jakarta – 8 Maret 2011

(Kiri ke kanan) Ibu Tumbu Astiani Ramelan (kolektor) – Ibu Dra.Suwati Kartiwa, MSc (Mantan Kepala Museum Nasional Jakarta) – Pak Hartono (kolektor).

 

Bahan bacaan lebih lanjut :

– Tumbu Ramelan : 20th Century Batik Masterpieces

– Inger McCabe dan Brian Brake : Cloth of Java

 

Leave a comment